Sabtu, 29 April 2017

Potret Peradaban Islam Pada Masa Rasul


POTRET PERADABAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
          Perkembangan Islam pada masa Nabi Muhammad Saw. melalui berbagai macam cobaan dan tantangan yang dihadapi untuk menyebarkannya. Islam berkembang dengan pesat hampir semua lapisan masyarakat dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban Islam kearah yang lebih maju.
            Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu. yang isinya menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah, mendapat tantangan yang besar dari berbagai kalangan Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Mekkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam masih sangat sedikit.
            Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintah Nabi untuk melakukan dakwah secara terang-terangan. Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.  membuat kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah Nabi SAW. Dengan cara diplomasi disertai bujuk rayu hingga tindakan kekerasan mereka lakukan. Namun Nabi tetap pada pendirian untuk menyiarkan agama islam. Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad beserta kaum muslim lainnya untuk berhijrah ke kota Madinah. Disinilah babak baru kemajuan Islam dimulai.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah di Mekkah?
2. Bagaimana Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah di Madinah?





BAB II
PEMBAHASAN
A. PERADABAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DI MEKKAH
            Kehidupan Rasulullah di Mekkah pada dasarnya adalah melaksanakan tugas-tugas kerasulannya. Untuk itu beliau melakukan dakwah berdasarkan pada petunjuk-petunjuk wahyu, yang dijalankan dengan sabar dan ikhlas. Strategi dakwah yang dilakukan Rasulullah dibagi kedalam tiga tahapan, yaitu:
Pertama, tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi melalui silaturahmi.
Kedua, tahapan dakwah kepada keluarga besar bani Hasyim.
Ketiga, tahapan dakwah secara terang-terangan.

Pertama, tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi melalui silaturahmi
            Pada awalnya Rasulullah menyampaikan Islam kepada orang-orang yang paling dekat dengan beliau, yaitu anggota keluarga dan sahabat-sahabat karib beliau. Merekalah yang disebut sebagai al-sabiqun al-awwalun (orang-orang yang terdahulu dan yang pertama masuk Islam), Mereka terdiri dari istri beliau, Umm al-Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, dan sahabat karib beliau, Abu Bakar al-Shiddiq. Abu Bakar dikenal kaumnya sebagai seorang laki-laki lemah lembut, pengasih, ramah, dan memiliki akhlak yang mulia. Beliau membantu Rasul dalam mendakwahkan Islam dengan sangat bijaksana. Berkat seruannya, ada beberapa orang yang masuk Islam, yaitu: Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Arqam bin Abi al-Arqam. Selama tiga tahun, dakwah Islam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selama jangka waktu ini telah terbentuk kelompok orang-orang mukmin yang senantiasa menguatkan hubungan persaudaraan dan saling bahu-membahu. Mereka ini yang mendapatkan pendidikan agama pertama dan langsung dari Rasul dirumah sahabat Arqam, tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Dar al-Arqam. Tempat ini juga dikenal sebagai lembaga dakwah dan pendidikan pertama yang dibentuk oleh Rasul.
Kedua, tahapan dakwah kepada keluarga besar Bani Hasyim
            Nabi mengundang kaum kerabat dari bani Hasyim pada jamuan makan dan mengajak mereka untuk meyakini ajaran Islam. Walau belum banyak yang menerima, namun dalam kesempatan itu ada 3 orang bersedia masuk islam, yaitu Ja’far bin Abi Thalib, pembantu beliau Zaid bin Haritsah dan anak paman beliau yaitu Ali bin Abi Thalib, yang saat itu masih anak-anak dan hidup dalam asuhan beliau.


Ketiga, tahapan dakwah secara terang-terangan
            Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwah Islam masih secara sembunyi-sembunyi, hingga turun wahyu dalam surat Al-Hijr: 94 “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” Dengan turunnya wahyu tersebut mengharuskan Rasulullah menyampaikan dakwah secara terang-terangan kepada kaumnya.
            Pada tahapan dakwah secara terang-terangan ini, yang menyatakan masuk Islam dari kalangan kaum kafir Quraisy adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dan orang diluar Mekkah seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Thufail bin Amr dan dari suku Aus dan Khazraj.
            Kabilah Quraisy tidak berani menyakiti Muhammad karena beliau mendapatkan perlindungan dari pamannya yaitu Abu Thalib yang sangat disegani kaum Quraisy. Setelah isteri Nabi yaitu Khadijah meninggal pada usia 50 tahun dan pamannya yaitu Abu Thalib meninggal pada usia 87 tahun dalam tahun yang sama yaitu 619 M, maka perlawanan kaum kafir Quraisy semakin keras lagi. Tahun itulah yang dirasakan Nabi sebagai tahun kesedihan atau Amul Huzni.  
            Setelah kaum Quraisy melihat Muhammad tanpa perlindungan tokoh yang disegani, Muhammad semakin dihina dan dicaci maki oleh penduduk setempat. Mereka mengkawatirkan perkembangan dakwah Islam yang semakin diterima oleh masyarakat Quraisy. Faktor-faktor yang mendorong orang Quraisy menentang dakwah Nabi Muhammad adalah:
1.      Persaingan tradisional yang selalu terjadi untuk berebut pengaruh dan kekuasaan.
2.      Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3.      Para pemimpin Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan diakhirat.
4.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang sudah mengakar pada bangsa Arab, sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama Islam.
5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
            Memasuki tahun kelima dari kenabiannya atau 615 M, Nabi Muhammad dan pengikutnya menghadapi kesulitan yang semakin berat. Muhammad tidak dapat meringankan penderitaan pengikut-pengikutnya, sehingga Muhammad memerintahkan mereka berhijrah ke Habasyah (Abyssinia). Dengan diikuti oleh 83 laki-laki dan 18 perempuan, meninggalkan negeri mereka menuju negeri lain dimana mereka diterima dengan baik oleh Raja Najasyi (Negus) yang memeluk agama Nasrani.
            Perwakilan orang Quraisy yaitu Amr bin Ash dan Amr bin Walid memohon kepada Raja Najasyi, agar pengungsi itu dikembalikan kepada keluarga di Mekkah, karena mereka hanyalah pengacau agama. Alasan yang disampaikan perwakilan orang Quraisy tidak terbukti, karena Nabi mengajarkan ajaran baru tentang ketauhidan, menghormati sesama dan melarang membunuh bayi perempuan, melarang minum khamr, berjudi dan menyembah berhala. Karena itu Raja Najasyi menolak permohonan utusan Quraisy tersebut. Sehingga selanjutnya tindakan orang-orang Quraisy lebih kejam lagi, mereka memboikot Bani Hasyim yang merupakan tempat Nabi Muhammad berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama 3 tahun. Orang-orang Quraisy menggantungkan piagam di dinding Ka’bah, piagam tersebut memuat larangan berhubungan antara kaum Muslimin dengan kaum kafir Quraisy, melarang berhubungan dalam hal perdagangan, melarang kaum kafir Quraisy melakukan pernikahan dengan kaum Muslimin.  
            Setelah tiga tahun dihentikan pemboikotan kepada kaum Muslimin, perlakuan kaum Quraisy semakin lebih keras lagi menentang dan mengganggu dakwah islam. Akhirnya Nabi Muhammad memutuskan untuk mencari tempat lain agar ajaran Islam dapat berkembang, yaitu ke kota Thaif. Namun, di Thaif Nabi malah dicaci dan dilempari batu sampai beliau terluka. Hal ini semua, hampir membuat Nabi Muhammad putus asa. Beliau lalu kembali ke Mekkah dengan rasa sedih. Untuk menghibur Nabi, maka pada tahun ke 10 kenabian, setahun sebelum hijrah ke Yatsrib, Allah meng Isra’mi’raj kannya. Perjalanan suci dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa, dan dinaikkannya ke Sidrah al-Muntaha pada malam hari, 27 Rajab 621 M. Dimana Nabi mendapatkan perintah shalat dari Allah SWT. Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj dakwah islam mengalami kemajuan. Yaitu dengan datangnya sejumlah penduduk Yatsrib ke Mekkah untuk berhaji, yang terdiri dari dua suku yang saling bermusuhan, yaitu Suku Aus dan Khazraj yang mendengar dakwah Nabi, kemudian mereka masuk Islam dalam tiga gelombang:
a.       Gelombang pertama pada tahun ke 10 kenabian, mereka datang untuk memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan permusuhan antara kedua suku. Mereka kemudian mendakwahkan Islam di Yatsrib.
b.      Gelombang kedua pada tahun ke 12 kenabian, utusan dari Yatsrib yang terdiri dari 10 orang suku Khazraj dan 2 orang suku Aus serta seorang wanita menemui Nabi dan mengadakan perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Aqabah pertama, yang berisi ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani seorang utusan Nabi yaitu Mus’ab bin Umair.
c.       Gelombang ketiga pada tahun ke 13 kenabian, mereka datang kembali kepada Nabi dan meminta Nabi untuk hijrah ke Yatsrib, mereka berjanji untuk membela Nabi dan akan membai’at Nabi sebagai pemimpin. Nabi pun menyetujui untuk hijrah ke Yatsrib. Perjanjian ini kemudian disebut perjanjian Aqabah kedua karena terjadi pada tempat yang sama yaitu di bukit Aqabah.
            Akhirnya Nabi Muhammad bersama kurang lebih 150 kaum Muslimin hijrah ke Yatsrib. Dan ketika sampai disana, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama Yatsrib diubah menjadi Madinah.
            Demikian periode Mekkah terjadi. Dalam periode ini Nabi Muhammad mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwahnya. Dalam periode ini Nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang teratur, karena perhatian Nabi lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat.

B. PERADABAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DI MADINAH
            Hijrah Nabi Muhammad ke Yatsrib merupakan awal dari munculnya masyarakat yang berperadaban Islam. Kehadiran beliau dinantikan oleh penduduk Yatsrib dengan sukacita, pada tanggal 12 Rabiul Awwal 622 M. Sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar mengucapkan berbagai macam syair untuk menyambut kedatangan Nabi, dan menyebutnya sebagai bulan purnama yang memberi cahaya pada negeri Yatsrib. Karena itu Yatsrib segera berubah sebutannya menjadi Madinah al-Rasul, yang artinya Kota Rasulullah atau Madinah al-Munawarah, yakni Kota yang bercahaya. Perubahan ini pada hakikatnya merupakan sebuah deklarasi, bahwa di kawasan baru ini Nabi dan masyarakat hendak membangun suatu masyarakat yang teratur, maju dan beradab.
            Dalam periode Madinah, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam di Madinah yaitu Mendirikan Masjid, Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, membuat Piagam Madinah yaitu perjanjian antara kaum Muslimin dan Nonmuslim, meletakan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru.
1. Mendirikan Masjid
     Tugas pertama yang dilakukan Nabi adalah menyusun landasan kokoh untuk kehidupan umat Islam yaitu dengan membangun Masjid Nabawi dengan bergotong-royong. Tujuan Rasulullah mendirikan Masjid adalah untuk mempersatukan umat Islam dalam satu majelis, sehingga di majelis ini umat Islam bisa bersama-sama melaksanakan Shalat jama’ah secara teratur, mengadili perkara-perkara dan bermusyawarah. Masjid ini memegang peranan penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempererat tali Ukhuwah Islamiyah.
2. Mempersatukan dan Mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Anshar
            Rasulullah mempersatukan keluarga-keluarga Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Dengan cara mempersaudarakan antara kedua golongan ini, Rasulullah telah menciptakan suatu pertalian yang berdasarkan agama, yakni pengganti persaudaraan yang berdasarkan kesukuan.
3. Membuat Piagam Madinah yaitu Perjanjian antara Kaum Muslimin dan Nonmuslim (622     M)
            Di Madinah ada tiga golongan besar yaitu kaum Muslimin, orang-orang arab nonmuslim dan kaum yahudi (Bani Nadhir,Bani Quraizhah,  dan Bani Qainuqa). Rasulullah melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan dan kedamaian. Kesepakatan itu disebut Piagam Madinah. Yang berisi:
1.      Tiap kelompok dijamin kebebasannya dalam beragama.
2.      Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah.
3.      Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik yang Muslim maupun yang Nonmuslim.
4.      Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya.
5.      Meletakkan landasan berpoltik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru terbentuk.
            Piagam Madinah juga disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dan dokumen penting perkembangan hukum dalam peradaban Islam. bagi umat Islam, khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan mereka. Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang subur di Madinah.
            Bagi penduduk Madinah, dengan adanya kesepakatan piagam Madinah, dapat menciptakan suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.
            Piagam Madinah ternyata mampu mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama dan bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka.
4. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru 
            Ketika masyarakat Islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam periode ini terutama ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan oleh Rasulullah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan beliau sehingga terdapat dua sumber hukum dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
            Dari kedua sumber hukum Islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah dan prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial. Serta dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antar masyarakat dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.  

Penulisan dan Penghafalan Al-Qur’an
            Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an sudah dimulai oleh Nabi Muhammad, bahkan sejak awal diturunkannya Al-Qur’an yang diwahyukan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Setiap kali menerima wahyu, Rasulullah selalu membacakan dan mengajarkannya kepada para sahabat serta memerintahkan kepada mereka untuk menghafalkannya.
            Sejarah telah mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis)  maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan para Sahabat untuk menulis ayat-ayat Al-Qur`an.
            Untuk keperluan penulisan Al-Qur`an, Nabi Muhammad SAW menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai juru tulis sekaligus mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur`an. Tugas Zaid bin Tsabit sungguh berat tetapi mulia karena menulis wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW,  serta meletakkan urutan kalimatnya sesuai dengan petunjuk Nabi.  Demikianlah halnya setiap ayat yang turun ditulis pada batu-batu, tulang-tulang, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagainya, karena pada waktu itu kertas belum ada sebagaimana halnya sekarang ini. Dalam melaksanakan tugas selaku juru tulis wahyu, Zaid bin Tsabit sangat berhati-hati, ia tidak mau menulis ayat-ayat begitu saja, kecuali setelah disaksikan kebenarannya oleh dua orang saksi yang adil, sungguhpun ia sendiri hafal Al-Qur`an. Dengan demikian Al-Qur`an tetap terjamin dari segala kesalahan dan kekeliruan.

Perjanjian Hudaibiyah
            Pada tahun 6 H/628 M, Nabi Muhammad bersama sekitar seribu kaum muslimin berangkat dari Madinah menuju ke Mekkah bukan untuk berperang, tetapi untuk melaksanakan ibadah Umrah, namun, kaum Musyrikin Mekkah menghalangi rombongan kaum Muslimin yang hendak ke Mekkah. Sehingga Rasulullah pun mengajak mereka untuk mengadakan perjanjian damai. Perjanjian itu berlangsung di lembah Hudaibiyah yaitu tepatnya dipinggiran Mekkah. Isi perjanjian tersebut antara lain:
1.      Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2.      Tiap kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum Muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
3.      Orang Islam yang melarikan diri ke Mekkah (murtad) diperbolehkan, sedangkan orang kafir Mekkah yang melarikan diri ke Madinah (masuk Islam) harus ditolak.
4.      Kaum Muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan. Dengan tidak membawa senjata saat memasuki Mekkah.
5.      Lama kunjungan ke Mekkah/Umrah dibatasi hanya sampai tiga hari.
            Kelihatannya perjanjian ini merugikan kaum Muslimin, tetapi hikmahnya sangat besar. Karena masa 10 tahun dapat dimanfaatkan untuk berdakwah dengan bebas tanpa khawatir ada gangguan dari kaum kafir Quraisy.
Fathul Mekkah (8 H/630 M)
            Setelah 2 tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab. Hal tersebut membuat orang-orang kafir Mekkah khawatir dan merasa terpojok, oleh karena itu, orang-orang kafir Quraisy secara sepihak melanggar perjanjian Hudaibiyah. Melihat hal ini, Nabi Muhammad bersama 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, untuk menghadapi kaum kafir Quraisy. Tanpa perlawanan berarti dan tanpa pertumpahan darah, Nabi pun berhasil menguasai Mekkah secara keseluruhan sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan didalam dan disekitar Ka’bah.
Peperangan dalam Islam
            Peperangan di dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menggiring dan memaksa manusia masuk Islam. Sebab berbagai peperangan hanya bertujuan pada usaha melakukan tindakan pertahanan dan perlindungan diri dari serangan dan permusuhan. Juga untuk melindungi dakwah dan membangun kemerdekaan beragama.
            Pada dasarnya Rasulullah tidak pernah mendahului menyerang lawan, Rasulullah hanyalah mempertahankan diri dari serangan musuh yang mengancam keberadaan umat Islam. Nabi mengizinkan peperangan dengan dua alasan yaitu:
Pertama, untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya.
Kedua, untuk menjaga keselamatan dalam menyebarkan kepercayaan dan mempertahankannya dari mereka yang menghalang-halanginya.

 Peperangan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
            Perang yang terjadi pada masa Nabi terbagi atas dua bagian, yaitu:
a.       Ghazwah, yaitu perang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad.
b.      Sariyah, yaitu perang yang dipimpin oleh sahabat atas penunjukan Nabi Muhammad.
            Para ahli sejarah membagi beberapa ghazwah dan sariyah dalam sejarah Islam, antara lain sebagai berikut:
Ghazwah, yang termasuk dalam perang ghazwah antara lain:
1. Perang Badar (17 Ramadan 2 H)

            Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus berupaya menghancurkan kaum muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar adalah Utbah bin Rabi’ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh muslim seperti Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di pihak muslim Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka.


2. Perang Uhud (Syakban 3 H)

            Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum muslim. Pasukan Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan Kinanah. Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan disongsong di luar Madinah. Akan tetapi, Abdullah bin Ubay membelot dan membawa 300 orang Yahudi kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi SAW melanjutkan perjalanan sampai ke Bukit Uhud. Perang Uhud dimulai dengan perang tanding yang dimenangkan tentara Islam tetapi kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan harta, yakni prajurit Islam sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam menjadi terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) meninggal terbunuh.

3. Perang Khandaq (Syawal 5 H)

            Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja’, Bani Sulaim, Bani Sa’ad dan Ka’ab bin Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.

4. Perang Khaibar (7 H)

            Lokasi perang ini adalah di daerah Khaibar. Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy atau Gatafan. Pasukan muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan muslim mengepung dan memutuskan aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya pasukan muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar. Pihak Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil panen kepada kaum muslim.

5. Perang Mu’tah (8 H)

            Perang ini terjadi karena Haris al-Ghassani raja Hirah, menolak penyampaian wahyu dan ajakan masuk Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Penolakan ini disampaikan dengan cara membunuh utusan Nabi SAW. Nabi SAW kemudian mengirimkan pasukan perang di bawah pimpinan Zaid bin Harisah. Perang ini dinamakan Perang Mu’tah karena terjadi di desa Mu’tah, bagian utara Semenanjung Arabia. Pihak pasukan muslim mendapat kesulitan menghadapi pasukan al-Ghassani yang dibantu pasukan Kekaisaran Romawi. Beberapa sahabat gugur dalam pertempuran tersebut, antara lain Zaid bin Harisah sendiri. Akhirnya Khalid bin Walid mengambil alih komando dan menarik pasukan muslim kembali ke Madinah. Kemampuan Khalin bin Walid menarik pasukan muslimin dari kepungan musuh membuat kagum masyarakat wilayah tersebut. Banyak kabilah Nejd, Sulaim, Asyja’, Gatafan, Abs, Zubyan dan Fazara masuk Islam karena melihat keberhasilan dakwah Islam.

6. Perang Tabuk (9 H)

            Lokasi perang ini adalah kota Tabuk, perbatasan antara Semenanjung Arabia dan Syam (Suriah). Adanya peristiwa penaklukan kota Mekah membuat seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa Romawi Timur, menyusun pasukan besar untuk menyerang kaum muslim. Pasukan muslimin kemudian menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena pada masa itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk setempat sehingga daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam barisan Islam.

Sariyah, yang termasuk dalam perang sariyah antara lain:

1. Sariyah Hamzah bin Abdul Muthalib (Ramadhan 1 H)

            Perang ini merupakan sariyah pertama yang terjadi dalam sejarah Islam. Sariyah ini berlangsung di dataran rendah al-Bahr, tidak jauh dari kota Madinah. Perang ini melibatkan 30 orang muslimin dan 300 orang Quraisy. Pasukan muslimin dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib, sedangkan pasukan Quraisy dipimpin Abu Jahal bin Hisyam. Perang ini tidak menimbulkan korban karena segera dilerai Majdi bin Amr.

2. Sariyah Ubaidah bin Haris (Syawal 1 H)

            Sariyah ini berlangsung di al-Abwa’, desa antara Mekah dan Madinah. Kaum muslim berjumlah 80 orang, sedangkan kaum Quraisy berjumlah sekiyat 200 orang. Kaum muslim (semuanya Muhajirin) dipimpin Ubaidah bin Haris, sedangkan kaum Quraisy dipimpin Abu Sa’ad bin Abi Waqqas sempat melepaskan anak panahnya. Peristiwa tersebut menandai lepasnya anak panah pertama dalam sejarah perang Islam.

3. Sariyah Abdullah bin Jahsy (Rajab 2 H)

            Perang ini dipimpin Abdullah bin Jahsy, sedangkan kaum Quraisy dipimpin Amr bin Hazrami. Perang ini terjadi di Nakhlah, antara Ta’if dan Mekah. Kaum muslim berhasil membunuh Amr bin Hazrami dan menahan dua orang Quraisy sebagai tawanan perang. Kaum muslim juga memperoleh harta rampasan perang dan membawanya ke hadapan Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW menyatakan bahwa beliau tidak pernah menyuruh mereka berperang karena pada bulan Rajab diharamkan untuk membunuh atau melakukan peperangan. Peristiwa tersebut kemudian digunakan oleh kaum Quraist untuk memfitnah dengan mengatakan kaum muslim melanggar bulan suci. Pada saat itu turun firman Allah SWT surah al-Baqarah (2) ayat 217 yang menjelaskan tentang ketentuan berperang pada bulan Haram (bulan Rajab)

4. Sariyah Qirdah (Jumadilakhir 3 H)

            Sariyah Qirdah berlangsung di sumur Qirdah, suatu tempat di Nejd (Arab Saudi). Kaum muslim berjumlah 100 orang penunggang kuda, dipimpin oleh Zaid bin Harisah. Sariyah Qirdah bertujuan untuk menghadang kafilah Quraisy dari Mekah. Perang ini berhasil dimenangkan kaum muslim dengan menyita harta kaum Quraisy. Harta tersebut kemudian dijadikan ganimah (harta rampasan perang), yang merupakan ganimah pertama dalam sejarah perang Islam. Sebagian orang musyrik yang tidak melarikan diri selanjutnya dibawa ke Madinah dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam.


 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            peradaban Islam pada masa nabi Muhammad Saw terbagi menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan Madinah.
Pada periode Mekkah lebih ditekankan hanya pada bidang Dakwah, karena periode ini merupakan masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah yang dilakukan oleh Nabi pada periode ini terbagi menjadi tiga yaitu secara sembunyi-sembunyi melalui silaturahmi, dakwah kepada keluarga besar Bani Hasyim dan dakwah secara terang-terangan. Meskipun dalam prosesnya Nabi sering mendapat gangguan dan perlakuan kasar dari kaum kafir Quraisy.
            Dalam periode Madinah, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam di Madinah yaitu Mendirikan Masjid, Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, membuat Piagam Madinah yaitu perjanjian antara kaum Muslimin dan Nonmuslim, meletakan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru. Pada periode ini Islam mengalami perkembangan dan meluas sampai ke seluruh Jazirah Arab, hal itu merupakan tanda keberhasilan dakwah Nabi Muhammad Saw.




 DAFTAR PUSTAKA

Ismawati. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: CV Karya Abadi Jaya
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH


           

           









Tidak ada komentar:

Posting Komentar