POTRET PERADABAN
ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Islam pada masa Nabi
Muhammad Saw. melalui berbagai macam cobaan dan tantangan yang dihadapi untuk
menyebarkannya. Islam berkembang dengan pesat hampir semua lapisan masyarakat
dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan
titik tolak perubahan peradaban Islam kearah yang lebih maju.
Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu. yang
isinya menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah, mendapat tantangan yang
besar dari berbagai kalangan Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum
Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka
sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di
Mekkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang
masuk Islam masih sangat sedikit.
Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk
Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintah Nabi untuk melakukan
dakwah secara terang-terangan. Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. membuat
kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi terancam.
Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin mengganggu dan
menghentikan dakwah Nabi SAW. Dengan cara diplomasi disertai bujuk rayu hingga
tindakan kekerasan mereka lakukan. Namun Nabi tetap pada pendirian untuk
menyiarkan agama islam. Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad beserta kaum
muslim lainnya untuk berhijrah ke kota Madinah. Disinilah babak baru kemajuan
Islam dimulai.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah di
Mekkah?
2. Bagaimana Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah di
Madinah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PERADABAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH
DI MEKKAH
Kehidupan Rasulullah di Mekkah pada dasarnya adalah
melaksanakan tugas-tugas kerasulannya. Untuk itu beliau melakukan dakwah
berdasarkan pada petunjuk-petunjuk wahyu, yang dijalankan dengan sabar dan
ikhlas. Strategi dakwah yang dilakukan Rasulullah dibagi kedalam tiga tahapan,
yaitu:
Pertama,
tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi melalui silaturahmi.
Kedua,
tahapan dakwah kepada keluarga besar bani Hasyim.
Ketiga,
tahapan dakwah secara terang-terangan.
Pertama, tahapan dakwah secara
sembunyi-sembunyi melalui silaturahmi
Pada awalnya Rasulullah menyampaikan Islam kepada
orang-orang yang paling dekat dengan beliau, yaitu anggota keluarga dan
sahabat-sahabat karib beliau. Merekalah yang disebut sebagai al-sabiqun
al-awwalun (orang-orang yang terdahulu dan yang pertama masuk Islam), Mereka
terdiri dari istri beliau, Umm al-Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, dan
sahabat karib beliau, Abu Bakar al-Shiddiq. Abu Bakar dikenal kaumnya sebagai
seorang laki-laki lemah lembut, pengasih, ramah, dan memiliki akhlak yang
mulia. Beliau membantu Rasul dalam mendakwahkan Islam dengan sangat bijaksana.
Berkat seruannya, ada beberapa orang yang masuk Islam, yaitu: Utsman bin Affan,
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Thalhah bin
Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Arqam bin Abi al-Arqam. Selama tiga
tahun, dakwah Islam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selama jangka
waktu ini telah terbentuk kelompok orang-orang mukmin yang senantiasa
menguatkan hubungan persaudaraan dan saling bahu-membahu. Mereka ini yang
mendapatkan pendidikan agama pertama dan langsung dari Rasul dirumah sahabat
Arqam, tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Dar al-Arqam. Tempat ini
juga dikenal sebagai lembaga dakwah dan pendidikan pertama yang dibentuk oleh
Rasul.
Kedua, tahapan dakwah kepada keluarga
besar Bani Hasyim
Nabi mengundang kaum kerabat dari
bani Hasyim pada jamuan makan dan mengajak mereka untuk meyakini ajaran Islam.
Walau belum banyak yang menerima, namun dalam kesempatan itu ada 3 orang
bersedia masuk islam, yaitu Ja’far bin Abi Thalib, pembantu beliau Zaid bin
Haritsah dan anak paman beliau yaitu Ali bin Abi Thalib, yang saat itu masih
anak-anak dan hidup dalam asuhan beliau.
Ketiga, tahapan dakwah secara
terang-terangan
Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwah Islam masih secara
sembunyi-sembunyi, hingga turun wahyu dalam surat Al-Hijr: 94 “Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” Dengan turunnya
wahyu tersebut mengharuskan Rasulullah menyampaikan dakwah secara
terang-terangan kepada kaumnya.
Pada tahapan dakwah secara terang-terangan ini, yang
menyatakan masuk Islam dari kalangan kaum kafir Quraisy adalah Hamzah bin Abdul
Muthalib dan Umar bin Khattab. Dan orang diluar Mekkah seperti Abu Dzar
al-Ghiffari, Thufail bin Amr dan dari suku Aus dan Khazraj.
Kabilah Quraisy tidak berani menyakiti Muhammad karena
beliau mendapatkan perlindungan dari pamannya yaitu Abu Thalib yang sangat disegani
kaum Quraisy. Setelah isteri Nabi yaitu Khadijah meninggal pada usia 50 tahun
dan pamannya yaitu Abu Thalib meninggal pada usia 87 tahun dalam tahun yang
sama yaitu 619 M, maka perlawanan kaum kafir Quraisy semakin keras lagi. Tahun
itulah yang dirasakan Nabi sebagai tahun kesedihan atau Amul Huzni.
Setelah kaum Quraisy melihat Muhammad tanpa perlindungan
tokoh yang disegani, Muhammad semakin dihina dan dicaci maki oleh penduduk
setempat. Mereka mengkawatirkan perkembangan dakwah Islam yang semakin diterima
oleh masyarakat Quraisy. Faktor-faktor yang mendorong orang Quraisy menentang
dakwah Nabi Muhammad adalah:
1.
Persaingan
tradisional yang selalu terjadi untuk berebut pengaruh dan kekuasaan.
2.
Nabi Muhammad
menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3.
Para pemimpin
Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang
kebangkitan kembali dan pembalasan diakhirat.
4.
Taklid kepada
nenek moyang adalah kebiasaan yang sudah mengakar pada bangsa Arab, sehingga
sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti
agama Islam.
5.
Pemahat dan
penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Memasuki tahun kelima dari kenabiannya atau 615 M, Nabi
Muhammad dan pengikutnya menghadapi kesulitan yang semakin berat. Muhammad
tidak dapat meringankan penderitaan pengikut-pengikutnya, sehingga Muhammad
memerintahkan mereka berhijrah ke Habasyah (Abyssinia). Dengan diikuti oleh 83
laki-laki dan 18 perempuan, meninggalkan negeri mereka menuju negeri lain
dimana mereka diterima dengan baik oleh Raja Najasyi (Negus) yang memeluk agama
Nasrani.
Perwakilan orang Quraisy yaitu Amr bin Ash dan Amr bin
Walid memohon kepada Raja Najasyi, agar pengungsi itu dikembalikan kepada
keluarga di Mekkah, karena mereka hanyalah pengacau agama. Alasan yang
disampaikan perwakilan orang Quraisy tidak terbukti, karena Nabi mengajarkan
ajaran baru tentang ketauhidan, menghormati sesama dan melarang membunuh bayi
perempuan, melarang minum khamr, berjudi dan menyembah berhala. Karena itu Raja
Najasyi menolak permohonan utusan Quraisy tersebut. Sehingga selanjutnya
tindakan orang-orang Quraisy lebih kejam lagi, mereka memboikot Bani Hasyim
yang merupakan tempat Nabi Muhammad berlindung. Pemboikotan ini berlangsung
selama 3 tahun. Orang-orang Quraisy menggantungkan piagam di dinding Ka’bah,
piagam tersebut memuat larangan berhubungan antara kaum Muslimin dengan kaum
kafir Quraisy, melarang berhubungan dalam hal perdagangan, melarang kaum kafir
Quraisy melakukan pernikahan dengan kaum Muslimin.
Setelah tiga tahun dihentikan pemboikotan kepada kaum
Muslimin, perlakuan kaum Quraisy semakin lebih keras lagi menentang dan
mengganggu dakwah islam. Akhirnya Nabi Muhammad memutuskan untuk mencari tempat
lain agar ajaran Islam dapat berkembang, yaitu ke kota Thaif. Namun, di Thaif
Nabi malah dicaci dan dilempari batu sampai beliau terluka. Hal ini semua, hampir
membuat Nabi Muhammad putus asa. Beliau lalu kembali ke Mekkah dengan rasa
sedih. Untuk menghibur Nabi, maka pada tahun ke 10 kenabian, setahun sebelum
hijrah ke Yatsrib, Allah meng Isra’mi’raj kannya. Perjalanan suci dari Masjid
al-Haram ke Masjid al-Aqsa, dan dinaikkannya ke Sidrah al-Muntaha pada malam
hari, 27 Rajab 621 M. Dimana Nabi mendapatkan perintah shalat dari Allah SWT.
Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj dakwah islam mengalami kemajuan. Yaitu dengan
datangnya sejumlah penduduk Yatsrib ke Mekkah untuk berhaji, yang terdiri dari
dua suku yang saling bermusuhan, yaitu Suku Aus dan Khazraj yang mendengar
dakwah Nabi, kemudian mereka masuk Islam dalam tiga gelombang:
a.
Gelombang
pertama pada tahun ke 10 kenabian, mereka datang untuk
memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan
permusuhan antara kedua suku. Mereka kemudian mendakwahkan Islam di Yatsrib.
b.
Gelombang kedua
pada tahun ke 12 kenabian, utusan dari Yatsrib yang terdiri
dari 10 orang suku Khazraj dan 2 orang suku Aus serta seorang wanita menemui
Nabi dan mengadakan perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Aqabah pertama,
yang berisi ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib sebagai
juru dakwah dengan ditemani seorang utusan Nabi yaitu Mus’ab bin Umair.
c.
Gelombang ketiga
pada tahun ke 13 kenabian, mereka datang kembali kepada Nabi
dan meminta Nabi untuk hijrah ke Yatsrib, mereka berjanji untuk membela Nabi
dan akan membai’at Nabi sebagai pemimpin. Nabi pun menyetujui untuk hijrah ke
Yatsrib. Perjanjian ini kemudian disebut perjanjian Aqabah kedua karena terjadi
pada tempat yang sama yaitu di bukit Aqabah.
Akhirnya Nabi Muhammad bersama kurang lebih 150 kaum
Muslimin hijrah ke Yatsrib. Dan ketika sampai disana, sebagai penghormatan
terhadap Nabi, nama Yatsrib diubah menjadi Madinah.
Demikian periode Mekkah terjadi. Dalam periode ini Nabi
Muhammad mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwahnya. Dalam periode ini
Nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang
teratur, karena perhatian Nabi lebih terfokus pada penanaman teologi atau
keimanan masyarakat.
B. PERADABAN ISLAM PADA
MASA RASULULLAH DI MADINAH
Hijrah Nabi Muhammad ke Yatsrib merupakan awal dari
munculnya masyarakat yang berperadaban Islam. Kehadiran beliau dinantikan oleh
penduduk Yatsrib dengan sukacita, pada tanggal 12 Rabiul Awwal 622 M. Sejumlah
kaum Muhajirin dan Anshar mengucapkan berbagai macam syair untuk menyambut
kedatangan Nabi, dan menyebutnya sebagai bulan purnama yang memberi cahaya pada
negeri Yatsrib. Karena itu Yatsrib segera berubah sebutannya menjadi Madinah
al-Rasul, yang artinya Kota Rasulullah atau Madinah al-Munawarah, yakni Kota
yang bercahaya. Perubahan ini pada hakikatnya merupakan sebuah deklarasi, bahwa
di kawasan baru ini Nabi dan masyarakat hendak membangun suatu masyarakat yang
teratur, maju dan beradab.
Dalam periode Madinah, pengembangan Islam lebih
ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar
masyarakat Islam di Madinah yaitu Mendirikan Masjid, Mempersatukan dan
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, membuat Piagam Madinah yaitu
perjanjian antara kaum Muslimin dan Nonmuslim, meletakan dasar-dasar politik,
ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru.
1. Mendirikan Masjid
Tugas pertama yang dilakukan Nabi adalah
menyusun landasan kokoh untuk kehidupan umat Islam yaitu dengan membangun
Masjid Nabawi dengan bergotong-royong. Tujuan Rasulullah mendirikan Masjid
adalah untuk mempersatukan umat Islam dalam satu majelis, sehingga di majelis
ini umat Islam bisa bersama-sama melaksanakan Shalat jama’ah secara teratur,
mengadili perkara-perkara dan bermusyawarah. Masjid ini memegang peranan
penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempererat tali Ukhuwah
Islamiyah.
2. Mempersatukan dan
Mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Anshar
Rasulullah mempersatukan keluarga-keluarga Islam yang
terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Dengan cara mempersaudarakan antara kedua
golongan ini, Rasulullah telah menciptakan suatu pertalian yang berdasarkan
agama, yakni pengganti persaudaraan yang berdasarkan kesukuan.
3. Membuat Piagam
Madinah yaitu Perjanjian antara Kaum Muslimin dan Nonmuslim (622 M)
Di Madinah ada tiga golongan besar yaitu kaum Muslimin,
orang-orang arab nonmuslim dan kaum yahudi (Bani Nadhir,Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa). Rasulullah melakukan satu kesepakatan
dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan dan kedamaian. Kesepakatan itu
disebut Piagam Madinah. Yang berisi:
1. Tiap
kelompok dijamin kebebasannya dalam beragama.
2. Tiap
kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah.
3. Tiap
kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik yang Muslim
maupun yang Nonmuslim.
4. Penduduk
Madinah semuanya sepakat mengangkat Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya dan
memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya.
5. Meletakkan
landasan berpoltik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru
terbentuk.
Piagam Madinah juga disebut sebagai konstitusi tertulis
pertama dan dokumen penting perkembangan hukum dalam peradaban Islam. bagi umat Islam,
khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah semakin memantapkan kedudukan mereka.
Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan
mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman
membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam
berkembang subur di Madinah.
Bagi penduduk Madinah, dengan adanya kesepakatan piagam
Madinah, dapat menciptakan suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil
pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi
semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama persamaan hak dan
kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan
pertahanan dan perdamaian.
Piagam Madinah ternyata mampu mengubah eksistensi orang-orang
mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat
politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik
dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama dan bekerjasama dalam
kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka.
4. Meletakkan dasar-dasar
politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru
Ketika masyarakat Islam terbentuk maka diperlukan
dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Oleh karena
itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam periode ini terutama ditujukan
kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan oleh
Rasulullah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan beliau sehingga terdapat
dua sumber hukum dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Dari kedua sumber hukum Islam tersebut didapat suatu
sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah dan prinsip keadilan yang
harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dan untuk bidang
ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial. Serta dalam bidang
kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antar masyarakat
dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.
Penulisan dan
Penghafalan Al-Qur’an
Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an sudah
dimulai oleh Nabi Muhammad, bahkan sejak awal diturunkannya Al-Qur’an yang
diwahyukan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Setiap kali
menerima wahyu, Rasulullah selalu membacakan dan mengajarkannya kepada para
sahabat serta memerintahkan kepada mereka untuk menghafalkannya.
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan para
Sahabat untuk menulis ayat-ayat Al-Qur`an.
Untuk
keperluan penulisan Al-Qur`an, Nabi Muhammad SAW menunjuk Zaid bin Tsabit
sebagai juru tulis sekaligus mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur`an. Tugas Zaid bin
Tsabit sungguh berat tetapi mulia karena menulis wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW, serta meletakkan urutan
kalimatnya sesuai dengan petunjuk Nabi.
Demikianlah halnya setiap ayat yang turun ditulis pada batu-batu,
tulang-tulang, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagainya, karena pada
waktu itu kertas belum ada sebagaimana halnya sekarang ini. Dalam melaksanakan
tugas selaku juru tulis wahyu, Zaid bin Tsabit sangat berhati-hati, ia tidak
mau menulis ayat-ayat begitu saja, kecuali setelah disaksikan kebenarannya oleh
dua orang saksi yang adil, sungguhpun ia sendiri hafal Al-Qur`an. Dengan
demikian Al-Qur`an tetap terjamin dari segala kesalahan dan kekeliruan.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H/628 M, Nabi Muhammad bersama sekitar seribu
kaum muslimin berangkat dari Madinah menuju ke Mekkah bukan untuk berperang,
tetapi untuk melaksanakan ibadah Umrah, namun, kaum Musyrikin Mekkah
menghalangi rombongan kaum Muslimin yang hendak ke Mekkah. Sehingga Rasulullah
pun mengajak mereka untuk mengadakan perjanjian damai. Perjanjian itu
berlangsung di lembah Hudaibiyah yaitu tepatnya dipinggiran Mekkah. Isi
perjanjian tersebut antara lain:
1.
Kedua
belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2.
Tiap
kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum Muslimin,
bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
3.
Orang
Islam yang melarikan diri ke Mekkah (murtad) diperbolehkan, sedangkan orang
kafir Mekkah yang melarikan diri ke Madinah (masuk Islam) harus ditolak.
4.
Kaum
Muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditangguhkan sampai
tahun depan. Dengan tidak membawa senjata saat memasuki Mekkah.
5.
Lama
kunjungan ke Mekkah/Umrah dibatasi hanya sampai tiga hari.
Kelihatannya
perjanjian ini merugikan kaum Muslimin, tetapi hikmahnya sangat besar. Karena
masa 10 tahun dapat dimanfaatkan untuk berdakwah dengan bebas tanpa khawatir
ada gangguan dari kaum kafir Quraisy.
Fathul Mekkah (8 H/630 M)
Setelah 2 tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah
Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab. Hal tersebut membuat orang-orang
kafir Mekkah khawatir dan merasa terpojok, oleh karena itu, orang-orang kafir
Quraisy secara sepihak melanggar perjanjian Hudaibiyah. Melihat hal ini, Nabi
Muhammad bersama 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, untuk
menghadapi kaum kafir Quraisy. Tanpa perlawanan berarti dan tanpa pertumpahan
darah, Nabi pun berhasil menguasai Mekkah secara keseluruhan sekaligus
menghancurkan berhala yang ditempatkan didalam dan disekitar Ka’bah.
Peperangan dalam Islam
Peperangan
di dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menggiring dan memaksa manusia masuk
Islam. Sebab berbagai peperangan hanya bertujuan pada usaha melakukan tindakan
pertahanan dan perlindungan diri dari serangan dan permusuhan. Juga untuk
melindungi dakwah dan membangun kemerdekaan beragama.
Pada
dasarnya Rasulullah tidak pernah mendahului menyerang lawan, Rasulullah
hanyalah mempertahankan diri dari serangan musuh yang mengancam keberadaan umat
Islam. Nabi mengizinkan peperangan dengan dua alasan yaitu:
Pertama, untuk
mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya.
Kedua, untuk menjaga keselamatan dalam menyebarkan kepercayaan
dan mempertahankannya dari mereka yang menghalang-halanginya.
Peperangan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Perang
yang terjadi pada masa Nabi terbagi atas dua bagian, yaitu:
a.
Ghazwah, yaitu perang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad.
b.
Sariyah, yaitu perang yang dipimpin oleh sahabat atas penunjukan
Nabi Muhammad.
Para
ahli sejarah membagi beberapa ghazwah dan sariyah dalam sejarah Islam, antara
lain sebagai berikut:
Ghazwah, yang
termasuk dalam perang ghazwah antara lain:
1. Perang Badar (17 Ramadan
2 H)
Perang Badar terjadi di
Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian
antara kaum muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini
disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang
dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus
berupaya menghancurkan kaum muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka
terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran dengan
gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar adalah Utbah bin
Rabi’ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh muslim seperti
Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di
pihak muslim Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka.
2. Perang Uhud (Syakban 3
H)
Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud.
Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga
timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum muslim. Pasukan Quraisy yang
dipimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan
Kinanah. Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang
yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan disongsong di luar
Madinah. Akan tetapi, Abdullah bin Ubay membelot dan membawa 300 orang Yahudi
kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi SAW melanjutkan
perjalanan sampai ke Bukit Uhud. Perang Uhud dimulai dengan perang tanding yang
dimenangkan tentara Islam tetapi kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan
harta, yakni prajurit Islam sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin
Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam
menjadi terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan
musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW
terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW)
meninggal terbunuh.
Lokasi Perang Khandaq adalah di
sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab
(Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak
senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di
samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri
dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja’, Bani Sulaim, Bani Sa’ad dan Ka’ab bin
Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya
berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu
didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang
yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW
yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk
membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit
di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat
oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.
4. Perang Khaibar (7 H)
Lokasi perang ini adalah di daerah
Khaibar. Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat
Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan
Quraisy atau Gatafan. Pasukan muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW
menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan muslim mengepung dan
memutuskan aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya
pasukan muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar. Pihak
Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai
imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil
panen kepada kaum muslim.
Perang ini terjadi karena Haris
al-Ghassani raja Hirah, menolak penyampaian wahyu dan ajakan masuk Islam yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Penolakan ini disampaikan dengan cara membunuh
utusan Nabi SAW. Nabi SAW kemudian mengirimkan pasukan perang di bawah pimpinan
Zaid bin Harisah. Perang ini dinamakan Perang Mu’tah karena terjadi di desa
Mu’tah, bagian utara Semenanjung Arabia. Pihak pasukan muslim mendapat
kesulitan menghadapi pasukan al-Ghassani yang dibantu pasukan Kekaisaran
Romawi. Beberapa sahabat gugur dalam pertempuran tersebut, antara lain Zaid bin
Harisah sendiri. Akhirnya Khalid bin Walid mengambil alih komando dan menarik
pasukan muslim kembali ke Madinah. Kemampuan Khalin bin Walid menarik pasukan
muslimin dari kepungan musuh membuat kagum masyarakat wilayah tersebut. Banyak
kabilah Nejd, Sulaim, Asyja’, Gatafan, Abs, Zubyan dan Fazara masuk Islam
karena melihat keberhasilan dakwah Islam.
6. Perang Tabuk (9 H)
Lokasi perang ini adalah kota Tabuk,
perbatasan antara Semenanjung Arabia dan Syam (Suriah). Adanya peristiwa
penaklukan kota Mekah membuat seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa
Romawi Timur, menyusun pasukan besar untuk menyerang kaum muslim. Pasukan
muslimin kemudian menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena
pada masa itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang
bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya
jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi berkemah di
Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk setempat sehingga
daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam barisan Islam.
Sariyah, yang termasuk dalam perang sariyah antara
lain:
1. Sariyah Hamzah bin Abdul
Muthalib (Ramadhan 1 H)
Perang ini merupakan sariyah pertama
yang terjadi dalam sejarah Islam. Sariyah ini berlangsung di dataran rendah
al-Bahr, tidak jauh dari kota Madinah. Perang ini melibatkan 30 orang muslimin
dan 300 orang Quraisy. Pasukan muslimin dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib,
sedangkan pasukan Quraisy dipimpin Abu Jahal bin Hisyam. Perang ini tidak
menimbulkan korban karena segera dilerai Majdi bin Amr.
Sariyah ini berlangsung di al-Abwa’,
desa antara Mekah dan Madinah. Kaum muslim berjumlah 80 orang, sedangkan kaum
Quraisy berjumlah sekiyat 200 orang. Kaum muslim (semuanya Muhajirin) dipimpin
Ubaidah bin Haris, sedangkan kaum Quraisy dipimpin Abu Sa’ad bin Abi Waqqas
sempat melepaskan anak panahnya. Peristiwa tersebut menandai lepasnya anak
panah pertama dalam sejarah perang Islam.
Perang ini dipimpin Abdullah bin
Jahsy, sedangkan kaum Quraisy dipimpin Amr bin Hazrami. Perang ini terjadi di
Nakhlah, antara Ta’if dan Mekah. Kaum muslim berhasil membunuh Amr bin Hazrami
dan menahan dua orang Quraisy sebagai tawanan perang. Kaum muslim juga
memperoleh harta rampasan perang dan membawanya ke hadapan Nabi Muhammad SAW.
Nabi SAW menyatakan bahwa beliau tidak pernah menyuruh mereka berperang karena
pada bulan Rajab diharamkan untuk membunuh atau melakukan peperangan. Peristiwa
tersebut kemudian digunakan oleh kaum Quraist untuk memfitnah dengan mengatakan
kaum muslim melanggar bulan suci. Pada saat itu turun firman Allah SWT surah
al-Baqarah (2) ayat 217 yang menjelaskan tentang ketentuan berperang pada bulan
Haram (bulan Rajab)
Sariyah Qirdah berlangsung di sumur
Qirdah, suatu tempat di Nejd (Arab Saudi). Kaum muslim berjumlah 100 orang
penunggang kuda, dipimpin oleh Zaid bin Harisah. Sariyah Qirdah bertujuan untuk
menghadang kafilah Quraisy dari Mekah. Perang ini berhasil dimenangkan kaum
muslim dengan menyita harta kaum Quraisy. Harta tersebut kemudian dijadikan
ganimah (harta rampasan perang), yang merupakan ganimah pertama dalam sejarah
perang Islam. Sebagian orang musyrik yang tidak melarikan diri selanjutnya
dibawa ke Madinah dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
peradaban Islam pada masa nabi
Muhammad Saw terbagi menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan Madinah.
Pada periode Mekkah
lebih ditekankan hanya pada bidang Dakwah, karena periode ini merupakan
masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah yang dilakukan oleh Nabi pada
periode ini terbagi menjadi tiga yaitu secara sembunyi-sembunyi melalui
silaturahmi, dakwah kepada keluarga besar Bani Hasyim dan dakwah secara
terang-terangan. Meskipun dalam prosesnya Nabi sering mendapat gangguan dan
perlakuan kasar dari kaum kafir Quraisy.
Dalam periode Madinah, pengembangan Islam lebih
ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar
masyarakat Islam di Madinah yaitu Mendirikan Masjid, Mempersatukan dan
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, membuat Piagam Madinah yaitu
perjanjian antara kaum Muslimin dan Nonmuslim, meletakan dasar-dasar politik, ekonomi,
dan sosial untuk masyarakat baru. Pada periode ini Islam mengalami perkembangan
dan meluas sampai ke seluruh Jazirah Arab, hal itu merupakan tanda keberhasilan
dakwah Nabi Muhammad Saw.
DAFTAR PUSTAKA
Ismawati. 2015. Sejarah
Peradaban Islam. Semarang: CV Karya Abadi Jaya
Amin, Samsul Munir. 2009.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar