Jumat, 28 April 2017

Makalah Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadis


SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADIS



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
  Hadis disebut juga Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir beliau. Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadis tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Sementara perhatian terhadap hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101H, yang waktunya relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi perihal otentisitas al-Hadits itu sendiri.

Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulallah SAW, kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan tabi’in.


 1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadis?
2.      Bagaimana Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan Hadis?




                                                                  BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadis

    Hadis pada Abad 1 Hijriyah
1. Hadis Pada Masa Rasul SAW (13SH-11H)
              Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW. Berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasululah sebagai sumber hadis.
              Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
              Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir). Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena Nabi SAW memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT. Yang berbeda dengan manusia lainnya.

o   Cara Rasuullah Menyampaikan Hadis
              Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul SAW sebagai sumber hadis. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
              Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusanNya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.(QS. Al-Najm : 3-4).
              Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak ketahui baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamaannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
              Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasulullah cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).
              Melalui tempat-tempat tersebut Rasulullah menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat, dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh sahabat melalui musyahadah. Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.
              Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
              Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis Al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha utk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Rasulullah.
              Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu , yang kemudian mereka menyampaikannya kepada yang lain.
              Ketiga, melalui pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Fathul Makkah.
              Keempat, Rasulullah memberikan contoh atau suri tauladan pada kehidupan sehari-hari.
              Kelima, Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita, baik kepada istri-istri beliau ataupun pada kaum muslimat di majlis.
o   Penyebaran Hadis Pada Masa Rasulullah
              Penyebaran Hadis dilakukan semenjak hari pertama Rasulullah diutus untuk berdakwah dalam penyebaran ajaran islam. Hal ini dilakukan dari hari kehari yang mulanya secara diam-diam di Dar al-Islam, yaitu Dar al-Arqam dan selanjutnya dilakukan secara terang-terangan.
              Adapun penyebaran hadis pada masa Rasulullah dilakukan dengan cara:
a.       Kesungguhan Rasulullah dalam berdakwah dan menyebarkan islam. Beliau mencurahkan waktunya untuk menyampaikan ajaran islam kepada para sahabat.
b.      Kesungguhan para sahabat dalam mempelajari ilmu, menghafalnya, dan menyampaikannya pada kaum muslimin lainnya.
c.       Peran para Ummul Mukminin r.a. dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah diantara istri-istri kaum muslimin.
d.      Peran para sahabat dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah terhadap istri-istri mereka.
e.       Penyebaran hadis diakukan sampai ke pusat-pusat pemerintahan islam, bahkan ke pelosok suku-suku.
              Setelah terbukanya kota Makkah banyak utusan-utusan bangsa arab dari seluruh jazirah arab yang datang untuk menghadap  Rasulullah dan menyatakan berada dibawah naungan islam. Rasulullah mengajarkan islam pada mereka dan memberi petunjuk kepada mereka. Dari mereka ada yang tinggal di Makkah dan ada yang kembali ke asal suku mereka. Disinilah ajaran islam yang dibawa Rasulullah tersebar ke seluruh Jazirah Arab.
o   Penghafalan dan Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah
              Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah menempuh jalan yang berbeda. Terhadap Al-Qur’an beliau secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedangkan terhadap hadis beliau hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barang siapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Ceritakan saja yang diterima dariku, yang demikian ini tidak mengapa, dan barang siapa dengan sengaja berbohong tentang diriku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).
              Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
              Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, sering kali Rasulullah menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
              Dibalik larangan Rasulullah SAW seperti pada hadis diatas, ternyata ada beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis, para sahabat itu antara lain :
1.        Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Mereka berkata : “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”.  (HR Bukhari). Hadis- hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2.        Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadis dari Rasulullah SAW mengenai manasik haji. hadis – hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3.        Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadis dan hadis- hadis nya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau meminta kepada Rasulullah SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa fathul Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah SAW kemudian bersabda : “Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
      Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya yang mengaku memiliki catatan-catatan hadis dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, dan Ibn Mas’ud.
      Ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.


2. Hadis Pada Masa Sahabat (12-98H)
     
      Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah ).
o   Menjaga Pesan Rasulullah
      Rasulullah sangat disegani dan ditaati oleh para sahabat. Mereka sadar bahwa mentaati Rasulullah adalah wujud dalam berbakti kepada Allah SWT. Oleh karena itu, para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala yang diajarkan oleh Nabi dan mentaatinya, baik yang berupa wahyu Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
      Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, selama kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadis).” (HR. Malik).
      Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasulullah dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.
o   Kehati-hatian Sahabat dalam Periwayatan Hadis
      Pada masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, mereka sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Jika menerima hadis dari sahabat lainnya mereka meminta untuk bersumpah dan meminta saksi atas kebenaran hadis tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar r.a. ketika mendengar hadis: “Jika seseorang diantara kalian minta izin untuk bertamu sampai tiga kali,tetapi tidak mendapatkan izin, maka hendaklah dia pulang.” Maka Umar berkata: “Tegakkanlah saksi atasnya, jika tidak, aku akan menyakitimu.”
Begitu juga yang diriwayatkan Ahmad, bahwa Ali r.a.berkata: “Saya bila mendengar dari Rasulullah sebuah Hadis, maka Allah memberikan manfaat bagiku sesuai dengan kehendakNya, dan jika yang mengatakan kepadaku selain Rasulullah, maka Aku akan meminta kepadanya untuk bersumpah. Jika dia mau bersumpah, Maka aku membenarkannnya.”
      Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis Rasulullah, karena khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena takut ada kesalahan/kekeliruan masuk kedalam Hadis. Padahal Hadis merupakan sumber hukum setelah Al-Qur’an.


o   Proses Penerimaan Hadis Para Sahabat
      Para sahabat dapat menghafal dengan baik ajaran-ajaran Rasulullah, Karena disamping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memehami sesuatu.
Hadis diterima para sahabat, baik secara langsung maupun tidak langsung dari Rasulullah. Penerimaan hadis secara langsung misalnya sewaktu Rasulullah memberi ceramah, pengajian, khutbah atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Sedangkan yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat lain atau dari utusan-utusan.
o   Periwayatan Sahabat dengan Lafzhi dan Maknawi
      Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.
      Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Pertama dengan jalan periwayatan Lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi (maknanya saja).
1. Periwayatan Lafzhi
      Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah.
      Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka.
      Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan Lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda walau satu kata dengan yang pernah didengarnya dari Rasulullah.

2. Periwayatan Maknawi
      Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah tanpa ada perubahan sedikitpun.
      Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasulullah, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati dan teliti.

o   Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadis
      Para sahabat tidak sama banyaknya dalam menerima dan mengetahui Hadis dari Rasulullah, karena adanya faktor seperti tempat tinggal, pekerjaan, usia dan hal-hal lainnya.
Para sahabat yang banyak menerima Hadis dari Rasulullah antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Abdullah bin Mas’ud.
b.      Yang selalu menyertai Rasulullah dan berusaha keras menghafal sabdanya, seperti: Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr bin Ash.
c.       Sahabat yang meskipun tidak lama bertemu dengan Rasul. Tetapi mereka dapat menerima hadis dari sesama sahabat, seperti: Anas bin malik dan Abdullah bin Abbas.
d.      Para Ummahatul Mukminin (istri-istri Rasulullah), seperti: Aisyah, Ummu Salamah dan lainnya.
Adapun jumlah hadis terbanyak yang diriwayatkan oleh sahabat, sebagaimana yang telah ditulis oleh para ulama Hadis yaitu:
a.       Abu Hurairah, Abdurrahman bin shakhr al-Dausi al-Yamani (19 SH-59 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 5.374 buah hadis.
b.      Abdullah bin Umar bin Khathab (10 SH-73 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.630 buah hadis.
c.       Anas bin Malik (10 SH-93 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.286 buah hadis.
d.      Aisyah binti Abu Bakar (9 SH-58 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.210 buah hadis.
e.       Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (3 SH-68 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.660 buah hadis.
f.       Jabir bin Abdillah al-Anshari (6 SH-78 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.540 buah hadis.
g.      Abu Sa’id al-khudri al-Anshari (12 SH-74 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.170 buah hadis.

3. Hadis Pada Masa Tabi’in
            Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dunia dalam keadaan islam pula dan tidak hidup pada masa Nabi Muhammad SAW.
            Pada masa tabi’in, islam telah meluas ke  negeri syam, irak, mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H sampai ke spanyol. Yang demikian karena keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
            Para tabi’in menerima riwayat Hadis dari para sahabat, baik di masjid-masjid ataupun tempat lainnya. Hadis-hadis yang diterima para tabi’in, ada yang dalam bentuk catatan-catatan dan ada pula yang dihafal.
            Pada umumnya, periwayatan Hadis yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai guru-guru mereka. Adapun tokoh-tokoh Hadis dikalangan tabi’in antara lain:
Di Madinah: Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud, dll.
Di Makkah: Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, dll.
Di Kufah: Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Amir bin Syurahil al-Sya’bi, dll.
Di Syiria (Syam): Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khulani, Abu Sulaiman al-Darani, dll.
Di Mesir: Yazid bin Abu Hubaib, Umar bin al-Harits, dll.
Di Yaman: Hammam bin Munabbih, Ma’mar bin Rasyid, Wahab bin Munabbih, dll.
  
o   Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
            Pada masa tabi’in ini terdapat pergolakan politik. Pergolakan politik ini sebenarnya sudah muncul sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.
            Dari pergolakan politik tersebut, secara langsung atau tidak langsung telah berpengaruh pada perkembangan Hadis berikutnya, Baik yang positif ataupun yang negatif. Pengaruh yang bersifat negatif ialah dengan munculnya Hadis-hadis palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
            Sedangkan pengaruh yang positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

B. Sejarah Penghimpunan (Tadwin)/Mengumpulkan Hadis
            Secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut: “Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.”
            Sementara yang dimaksud dengan tadwin Hadis pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa orang yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Hadis Pada Abad Ke 2 Hijriyah
1. Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadis
            Setelah Agama Islam tersebar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang tinggal di luar Jazirah Arab, dan para sahabat yang tidak sedikit jumlahnya telah meninggal dunia, maka terasa perlunya Hadis diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan.
            Permasalahan ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifahh ke 8 dari Bani Umayah) yang menjabat Khalifah antara tahun 99-101 hijriyah untuk menulis dan membukukan Hadis.
            Ada beberapa hal pokok mengapa Umar bin Abdul Aziz mengambil sikap seperti ini. Pertama, para penghafal Hadis semakin berkurang karena sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila Hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka Hadis dikhawatirkan berangsur-angsur akan hilang. Kedua, sudah tidak ada kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, Hadis merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan sehingga pembukuan Hadis sangat diperlukan. Keempat, Khawatir akan tercampurnya antara Hadis-hadis yang sahih dengan Hadis-hadis palsu.
2. Yang Pertamakali Membukukan Hadis Nabi SAW
            Orang yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan Hadis Nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab al-Zuhri al-Madani.
            Dalam kitab al-Muwatha’ diriwayatkan dan begitu juga dalam sunan al-Darimi, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, beliau merasa khawatir akan merosot dan
hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama, maka beliau menyerukan kepada Abu Bakar bin Hazm untuk membukukan Hadis Rasulullah seraya berkata: “Lihatlah, apa yang terjadi pada Hadis Rasulullah atau Sunnahnya, atau Hadis dari ‘Amra atau lainnya, maka tulislah karena aku mengkhawatirkan akan merosotnya ilmu dengan meninggalnya para ulama.”
            Kemudian, Abu Bakar bin Hazm menyerukan Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui Hadis.
            Al-Zuhri tercatat sebagai ulama besar pertama yang membukukan Hadis. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai Kodifikasi Hadis yang pertama secara resmi. Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama hijriyah. Selanjutnya, kodifikasi Hadis dilakukan pada masa dinasti Abbasiyah.
3. Gerakan Menulis Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibnu Syihab az-Zuhri
            Ada ulama ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas di Madinah, dengan kitab hasil karyanya yaitu Al-Muwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas permintaan khalifah Al-Mansur. Para ulama menilai Al-Muwatha’ ini sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddis selanjutnya.
Hadis Pada Abad Ke 3 Hijriyah
v  Masa Seleksi dan Peyempurnaan Serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab Hadis
1. Masa Penyaringan Hadis
            Masa seleksi atau penyaringan Hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
            Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa Hadis Mauquf dan Maqthu’ dari Hadis Marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa Hadis yang dhaif dari yang sahih. Bahkan masih ada Hadis yang Maudhu’ tercampur pada Hadis yang sahih.
            Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan Hadis-hadis yang dhaif (lemah) dari yang sahih dan Hadis-hadis yang Mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang Maqthu’ (terputus) dari yang Marfu’ (sanadnya sampai Nabi SAW).
Kitab Al-Sittah: Enam Kitab Hadis Induk
            Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka bermunculan kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis-hadis sahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan Kutub Al-Sittah (Kitab induk yang enam).
            Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, yang terkenal dengan “Imam Bukhari”(194-252 H) dengan kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih. Kemudian Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Kusairi Al-Naisaburi, yang dikenal dengan “Imam Muslim”(204-261 H) dengan kitabnya juga disebut Al-Jami’ Al-Shahih.
            Para ulama merespon kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan sepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata,”Para ulama sepakat bahwa kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sedangkan umat menerima keduanya.”
            Usaha yang sama juga dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishaq Al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah Al-Tirmidzi (200-279 H) dan Abu Abdillah bin Yazid bin Majah (207-273 H). Hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan kitab “Sunan”, yang menurut para ulama kualitasnya dibawah karya Bukhari dan Muslim.
            Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas, diurutkan sebagai berikut:
1.      Shahih al-Bukhari, karya Imam al-Bukhari
2.      Shahih Muslim,  karya Imam Muslim
3.      Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud
4.      Sunan al-Tirmidzi, karya Imam al-Tirmidzi
5.      Sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Nasa’i
6.      Sunan Ibni Majah, karya Imam Ibnu Majah
Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke 3 Hijriyah
o   Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan kedalamnya. Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadis yang dihimpun menyangkut masalah fiqh, aqidah, akhlak, sejarah dan tafsir. Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
o   Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadis yang sahih dan juga hadis dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya
terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
o   Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadis disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.

Hadist Pada Abad Ke 4 sampai Ke 5
v  Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis
1.   Kegiatan periwayatan Hadist pada periode ini.
Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, Cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para Ulama Hadis tetap berlangsung sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadis yang dihimpun pada periode ini diantaranya adalah :
o   Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)
o   Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
o   Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)
o   Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.
o   Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.
Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.
2.   Bentuk Penyusunan Kitab Hadis pada masa periode ini:
Para Ulama Hadis Periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan Hadis, yaitu :
a). Kitab Athraf, didalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari sanad kitab hadis yang dikutib matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya :
1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn Muhammad al Wasithi
(401 H)
3. Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi (571 H)
4. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)

b). Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri, conntoh :
1. Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)

c). Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadis shahih Bukhari dan Muslim. Contohnya: Al Jami’ bayn al Shahihaini oleh Ibnu Al Furat. Al Jami’ bayn al Shahihaini oleh Muhammad bin Nashir al Humaidi (488 H),Al Jami’ bayan al Shahihaini oleh Al Baqhawi (516 H)

Hadist Abad Ke 5 sampai Sekarang
v  Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab Hadis
Usaha ulama ahli hadis pada abad ke 5 sampai sekarang adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadis. Disamping itu mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
o   Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
o   Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
o   Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
o   Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Hadis pada masa abad ke 5 H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih simple dan sistematis.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
      Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
      Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis, namun hadis masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadis setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang jauh bahkan banyak di antara ulama para penghafal Hadis yang wafat.
      Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadis, yang pertama-tama menghimpun hadis serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar lainnya.
      Penulisan dan pembukuan hadis Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadis pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.


     
Daftar Pustaka

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Gufron, Mohammad dan Rahmawati. 2013. ULUMUL HADITS. Yogyakarta: Teras











  
   


             
             



         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar