SEJARAH PEMBINAAN
DAN PENGHIMPUNAN HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis disebut juga Sunnah
adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Rasulullah SAW,
baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir beliau. Hadis sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadis tidak terpisahkan dari
sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Kendati demikian,
keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang
sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun
para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Sementara perhatian terhadap hadis
tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99-101H, yang waktunya relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini
telah memicu berbagai spekulasi perihal otentisitas al-Hadits itu sendiri.
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadits bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi
pada masa Rasulallah SAW, kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan
tabi’in.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan
Hadis?
2.
Bagaimana Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan
Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi
Perkembangan Hadis
Hadis
pada Abad 1 Hijriyah
1. Hadis Pada Masa Rasul SAW (13SH-11H)
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW. Berarti
membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung
dengan pribadi Rasululah sebagai sumber hadis.
Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini
merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan
ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris
pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW dijelaskan Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan
(taqrir). Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat
merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah merupakan contoh
satu-satunya bagi para sahabat, karena Nabi SAW memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan selaku Rasul Allah SWT. Yang berbeda dengan manusia lainnya.
o Cara
Rasuullah Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya
dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh
hadis dari Rasul SAW sebagai sumber hadis. Antara Rasulullah dengan mereka
tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad
SAW sebagai utusanNya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah SWT berfirman: “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.(QS. Al-Najm : 3-4).
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan
semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat.
Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara
proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka
tidak ketahui baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua
yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar
keberagamaannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua
belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan
Rasulullah cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika
dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasulullah menyampaikan
hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para
sahabat, dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya
oleh sahabat melalui musyahadah. Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah
bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan sahabat,
Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para
sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.
Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadis kepada
para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut majlis Al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha utk
selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang
diberikan oleh Rasulullah.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga
menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu , yang kemudian mereka
menyampaikannya kepada yang lain.
Ketiga, melalui pidato di tempat terbuka,
seperti ketika haji wada’ dan Fathul Makkah.
Keempat, Rasulullah memberikan contoh atau suri
tauladan pada kehidupan sehari-hari.
Kelima, Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita,
baik kepada istri-istri beliau ataupun pada kaum muslimat di majlis.
o Penyebaran
Hadis Pada Masa Rasulullah
Penyebaran Hadis dilakukan semenjak hari pertama Rasulullah
diutus untuk berdakwah dalam penyebaran ajaran islam. Hal ini dilakukan dari
hari kehari yang mulanya secara diam-diam di Dar al-Islam, yaitu Dar al-Arqam
dan selanjutnya dilakukan secara terang-terangan.
Adapun penyebaran hadis pada masa Rasulullah dilakukan
dengan cara:
a.
Kesungguhan Rasulullah dalam berdakwah dan
menyebarkan islam. Beliau mencurahkan waktunya untuk menyampaikan ajaran islam
kepada para sahabat.
b.
Kesungguhan para sahabat dalam mempelajari ilmu,
menghafalnya, dan menyampaikannya pada kaum muslimin lainnya.
c.
Peran para Ummul Mukminin r.a. dalam bertabligh dan
menyebarkan sunnah diantara istri-istri kaum muslimin.
d.
Peran para sahabat dalam bertabligh dan menyebarkan
sunnah terhadap istri-istri mereka.
e.
Penyebaran hadis diakukan sampai ke pusat-pusat
pemerintahan islam, bahkan ke pelosok suku-suku.
Setelah terbukanya kota Makkah banyak utusan-utusan
bangsa arab dari seluruh jazirah arab yang datang untuk menghadap Rasulullah dan menyatakan berada dibawah
naungan islam. Rasulullah mengajarkan islam pada mereka dan memberi petunjuk
kepada mereka. Dari mereka ada yang tinggal di Makkah dan ada yang kembali ke
asal suku mereka. Disinilah ajaran islam yang dibawa Rasulullah tersebar ke
seluruh Jazirah Arab.
o Penghafalan
dan Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan
Al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah menempuh jalan
yang berbeda. Terhadap Al-Qur’an beliau secara resmi menginstruksikan kepada
sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedangkan terhadap hadis beliau hanya
menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Nabi SAW bersabda:
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barang siapa menulis sesuatu dariku
selain Al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Ceritakan saja yang diterima
dariku, yang demikian ini tidak mengapa, dan barang siapa dengan sengaja
berbohong tentang diriku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
(HR. Muslim).
Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah oleh para
sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir
dengan ancaman Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang
diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada
para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena
kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak
pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah banyak
memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, sering kali Rasulullah menjanjikan
kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada
orang lain.
Dibalik
larangan Rasulullah SAW seperti pada hadis diatas, ternyata ada beberapa
sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis,
para sahabat itu antara lain :
1.
Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki
catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut
suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah
Ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari
Rasulullah SAW. Mereka berkata : “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari
Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan
marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian
beliau menjawabnya dengan berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku
ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang
benar”. (HR Bukhari). Hadis- hadis yang terhimpun dalam
catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima
langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang
menemaninya.
2.
Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78
H). Beliau memiliki catatan hadis dari Rasulullah SAW mengenai manasik haji.
hadis – hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal
dengan Sahifah Jabir.
3.
Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau
memiliki catatan hadis dan hadis- hadis nya ini diwariskan kepada anaknya yang
bernama Hammam.
4. Abu
Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau meminta
kepada Rasulullah SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada
peristiwa fathul Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan
oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani Lais.
Rasulullah SAW kemudian bersabda : “Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat
lainnya yang mengaku memiliki catatan-catatan hadis dan dibenarkan oleh
Rasulullah SAW. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, dan Ibn Mas’ud.
Ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu
terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.
2. Hadis Pada Masa Sahabat
(12-98H)
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa
sahabat, khususnya masa khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Masa ini juga disebut dengan masa sahabat
besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu
berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini
oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah ).
o
Menjaga Pesan Rasulullah
Rasulullah sangat disegani dan ditaati oleh para
sahabat. Mereka sadar bahwa mentaati Rasulullah adalah wujud dalam berbakti
kepada Allah SWT. Oleh karena itu, para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam
menerima segala yang diajarkan oleh Nabi dan mentaatinya, baik yang berupa
wahyu Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Rasulullah pernah berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya
kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua
macam, selama kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat
selamanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadis).” (HR. Malik).
Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam
pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah
semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka
kepada Rasulullah dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.
o Kehati-hatian
Sahabat dalam Periwayatan Hadis
Pada masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali, mereka sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Jika menerima
hadis dari sahabat lainnya mereka meminta untuk bersumpah dan meminta saksi
atas kebenaran hadis tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar r.a. ketika
mendengar hadis: “Jika seseorang diantara kalian minta izin untuk bertamu
sampai tiga kali,tetapi tidak mendapatkan izin, maka hendaklah dia pulang.”
Maka Umar berkata: “Tegakkanlah saksi atasnya, jika tidak, aku akan
menyakitimu.”
Begitu
juga yang diriwayatkan Ahmad, bahwa Ali r.a.berkata: “Saya bila mendengar dari
Rasulullah sebuah Hadis, maka Allah memberikan manfaat bagiku sesuai dengan
kehendakNya, dan jika yang mengatakan kepadaku selain Rasulullah, maka Aku akan
meminta kepadanya untuk bersumpah. Jika dia mau bersumpah, Maka aku
membenarkannnya.”
Kehati-hatian para sahabat dalam
meriwayatkan hadis Rasulullah, karena khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena
takut ada kesalahan/kekeliruan masuk kedalam Hadis. Padahal Hadis merupakan
sumber hukum setelah Al-Qur’an.
o
Proses Penerimaan Hadis Para Sahabat
Para sahabat dapat menghafal dengan baik
ajaran-ajaran Rasulullah, Karena disamping dorongan keagamaan, mereka juga
mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan
kecepatan dalam memehami sesuatu.
Hadis
diterima para sahabat, baik secara langsung maupun tidak langsung dari
Rasulullah. Penerimaan hadis secara langsung misalnya sewaktu Rasulullah memberi
ceramah, pengajian, khutbah atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat.
Sedangkan yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat lain atau
dari utusan-utusan.
o
Periwayatan Sahabat dengan Lafzhi dan Maknawi
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan
hadis yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak
berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu
hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.
Ada dua jalan para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Pertama dengan jalan periwayatan Lafzhi
(redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah), dan kedua, dengan
jalan periwayatan Maknawi (maknanya saja).
1.
Periwayatan Lafzhi
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan
hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah.
Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan
Rasulullah.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan
hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan
redaksi dari Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka.
Diantara para sahabat yang paling keras
mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan Lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia
seringkali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda walau satu kata
dengan yang pernah didengarnya dari Rasulullah.
2.
Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan
hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah,
akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasulullah tanpa ada perubahan sedikitpun.
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat,
bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan
Rasulullah, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Meskipun demikian, para
sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati dan teliti.
o
Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadis
Para sahabat tidak sama banyaknya dalam
menerima dan mengetahui Hadis dari Rasulullah, karena adanya faktor seperti
tempat tinggal, pekerjaan, usia dan hal-hal lainnya.
Para
sahabat yang banyak menerima Hadis dari Rasulullah antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong
Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti: Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali dan Abdullah bin Mas’ud.
b. Yang selalu menyertai
Rasulullah dan berusaha keras menghafal sabdanya, seperti: Abu Hurairah dan
Abdullah bin Amr bin Ash.
c. Sahabat yang meskipun tidak
lama bertemu dengan Rasul. Tetapi mereka dapat menerima hadis dari sesama
sahabat, seperti: Anas bin malik dan Abdullah bin Abbas.
d. Para Ummahatul Mukminin
(istri-istri Rasulullah), seperti: Aisyah, Ummu Salamah dan lainnya.
Adapun
jumlah hadis terbanyak yang diriwayatkan oleh sahabat, sebagaimana yang telah
ditulis oleh para ulama Hadis yaitu:
a. Abu Hurairah, Abdurrahman
bin shakhr al-Dausi al-Yamani (19 SH-59 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya
5.374 buah hadis.
b. Abdullah bin Umar bin
Khathab (10 SH-73 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.630 buah hadis.
c. Anas bin Malik (10 SH-93 H).
Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.286 buah hadis.
d. Aisyah binti Abu Bakar (9
SH-58 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.210 buah hadis.
e. Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muthalib (3 SH-68 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.660 buah hadis.
f. Jabir bin Abdillah
al-Anshari (6 SH-78 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.540 buah hadis.
g. Abu Sa’id al-khudri
al-Anshari (12 SH-74 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 1.170 buah hadis.
3.
Hadis Pada Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan
sahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dunia dalam keadaan islam pula dan
tidak hidup pada masa Nabi Muhammad SAW.
Pada masa tabi’in, islam telah
meluas ke negeri syam, irak, mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H sampai ke spanyol. Yang demikian karena
keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka
tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama. Sejalan dengan
pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat ke
daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
Para tabi’in menerima riwayat Hadis
dari para sahabat, baik di masjid-masjid ataupun tempat lainnya. Hadis-hadis
yang diterima para tabi’in, ada yang dalam bentuk catatan-catatan dan ada pula
yang dihafal.
Pada umumnya, periwayatan Hadis yang
dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh
para sahabat sebagai guru-guru mereka. Adapun tokoh-tokoh Hadis dikalangan
tabi’in antara lain:
Di
Madinah:
Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud, dll.
Di
Makkah:
Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, dll.
Di
Kufah:
Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Amir bin Syurahil al-Sya’bi, dll.
Di
Syiria (Syam): Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khulani, Abu
Sulaiman al-Darani, dll.
Di
Mesir:
Yazid bin Abu Hubaib, Umar bin al-Harits, dll.
Di
Yaman:
Hammam bin Munabbih, Ma’mar bin Rasyid, Wahab bin Munabbih, dll.
o
Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pada masa tabi’in ini terdapat
pergolakan politik. Pergolakan politik ini sebenarnya sudah muncul sejak masa
sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, yaitu ketika
kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok,
yaitu Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok tersebut.
Dari pergolakan politik tersebut,
secara langsung atau tidak langsung telah berpengaruh pada perkembangan Hadis
berikutnya, Baik yang positif ataupun yang negatif. Pengaruh yang bersifat
negatif ialah dengan munculnya Hadis-hadis palsu (maudhu’) untuk mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawan-lawannya.
Sedangkan pengaruh yang positif
adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau
tadwin Hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai
akibat dari pergolakan politik tersebut.
B.
Sejarah Penghimpunan (Tadwin)/Mengumpulkan Hadis
Secara luas tadwin diartikan dengan
al-Jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai
berikut: “Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu
diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.”
Sementara yang dimaksud dengan
tadwin Hadis pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang
berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa orang yang ahli
dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan
pribadi.
Hadis Pada Abad Ke 2 Hijriyah
1.
Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadis
Setelah Agama Islam tersebar luas di
masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang tinggal di luar Jazirah Arab,
dan para sahabat yang tidak sedikit jumlahnya telah meninggal dunia, maka
terasa perlunya Hadis diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan.
Permasalahan ini menggerakkan hati
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifahh ke 8 dari Bani Umayah) yang menjabat
Khalifah antara tahun 99-101 hijriyah untuk menulis dan membukukan Hadis.
Ada beberapa hal pokok mengapa Umar
bin Abdul Aziz mengambil sikap seperti ini. Pertama, para penghafal
Hadis semakin berkurang karena sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila Hadis
tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka Hadis dikhawatirkan
berangsur-angsur akan hilang. Kedua, sudah tidak ada kekhawatiran
tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, Hadis merupakan salah
satu sumber ilmu pengetahuan sehingga pembukuan Hadis sangat diperlukan. Keempat,
Khawatir akan tercampurnya antara Hadis-hadis yang sahih dengan Hadis-hadis
palsu.
2.
Yang Pertamakali Membukukan Hadis Nabi SAW
Orang yang pertama kali menaruh
perhatian untuk membukukan Hadis Nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah
bin Syihab al-Zuhri al-Madani.
Dalam kitab al-Muwatha’ diriwayatkan
dan begitu juga dalam sunan al-Darimi, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah,
beliau merasa khawatir akan merosot dan
hilangnya
ilmu karena meninggalnya para ulama, maka beliau menyerukan kepada Abu Bakar
bin Hazm untuk membukukan Hadis Rasulullah seraya berkata: “Lihatlah, apa yang
terjadi pada Hadis Rasulullah atau Sunnahnya, atau Hadis dari ‘Amra atau
lainnya, maka tulislah karena aku mengkhawatirkan akan merosotnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama.”
Kemudian, Abu Bakar bin Hazm
menyerukan Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang
lebih banyak mengetahui Hadis.
Al-Zuhri tercatat sebagai ulama
besar pertama yang membukukan Hadis. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
ini oleh sejarah dicatat sebagai Kodifikasi Hadis yang pertama secara resmi.
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama hijriyah. Selanjutnya,
kodifikasi Hadis dilakukan pada masa dinasti Abbasiyah.
3.
Gerakan Menulis Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibnu
Syihab az-Zuhri
Ada ulama ahli Hadis yang berhasil
menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu
Malik bin Anas di Madinah, dengan kitab hasil karyanya yaitu Al-Muwatha’. Kitab
tersebut disusun pada tahun 143 H atas permintaan khalifah Al-Mansur. Para
ulama menilai Al-Muwatha’ ini sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak
dijadikan rujukan oleh para muhaddis selanjutnya.
Hadis Pada Abad Ke 3 Hijriyah
v Masa
Seleksi dan Peyempurnaan Serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab Hadis
1.
Masa Penyaringan Hadis
Masa seleksi atau penyaringan Hadis
terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak
masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode seleksi ini,
karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan
beberapa Hadis Mauquf dan Maqthu’ dari Hadis Marfu’. Begitu pula belum bisa
memisahkan beberapa Hadis yang dhaif dari yang sahih. Bahkan masih ada Hadis
yang Maudhu’ tercampur pada Hadis yang sahih.
Pada masa ini para ulama
bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadis yang diterimanya. Melalui
kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan
Hadis-hadis yang dhaif (lemah) dari yang sahih dan Hadis-hadis yang Mauquf
(periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang Maqthu’ (terputus) dari yang
Marfu’ (sanadnya sampai Nabi SAW).
Kitab
Al-Sittah: Enam Kitab Hadis Induk
Berkat keuletan dan keseriusan para
ulama pada masa ini, maka bermunculan kitab-kitab Hadis yang hanya memuat
Hadis-hadis sahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal
dengan Kutub Al-Sittah (Kitab induk yang enam).
Ulama yang berhasil menyusun kitab
tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah
bin Bardizbah Al-Bukhari, yang terkenal dengan “Imam Bukhari”(194-252 H) dengan
kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih. Kemudian Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj
Al-Kusairi Al-Naisaburi, yang dikenal dengan “Imam Muslim”(204-261 H) dengan
kitabnya juga disebut Al-Jami’ Al-Shahih.
Para ulama merespon kedua kitab
tersebut dengan sikap menerima, dan sepakat bahwa keduanya adalah kitab paling
shahih setelah Al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata,”Para ulama sepakat
bahwa kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah kitab Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim, sedangkan umat menerima keduanya.”
Usaha yang sama juga dilakukan oleh
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishaq Al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Surah Al-Tirmidzi (200-279 H) dan Abu Abdillah bin Yazid
bin Majah (207-273 H). Hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan kitab
“Sunan”, yang menurut para ulama kualitasnya dibawah karya Bukhari dan Muslim.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam
diatas, diurutkan sebagai berikut:
1. Shahih al-Bukhari, karya
Imam al-Bukhari
2. Shahih Muslim, karya Imam Muslim
3. Sunan Abi Daud, karya Imam
Abu Daud
4. Sunan al-Tirmidzi, karya
Imam al-Tirmidzi
5. Sunan al-Nasa’i, karya Imam
al-Nasa’i
6. Sunan Ibni Majah, karya Imam
Ibnu Majah
Bentuk penyusunan Kitab
hadist pada Abad ke 3 Hijriyah
o Kitab Shahih, kitab ini
hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak
dimasukkan kedalamnya. Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian
berdasarkan bab masalah tertentu. Hadis yang dihimpun menyangkut masalah fiqh,
aqidah, akhlak, sejarah dan tafsir. Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
o Kitab Sunan. Didalam kitab
ini dijumpai hadis yang sahih dan juga hadis dhaif yang tidak terlalu lemah dan
mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk
penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya
terbatas hanya pada masalah fiqh .
Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah
dan Sunan al Darimi.
o Kitab Musnad. Didalam kitab
ini hadis disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama
ada yang berdasrkan kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan
nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam. Contoh : Musnad Ahmad ibn
Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.
Hadist Pada Abad Ke 4 sampai Ke 5
v Masa
Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis
1. Kegiatan periwayatan Hadist pada periode
ini.
Periode
ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim.
Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan bahkan mengalami
keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu Khan, Cucu dari Jengis
Khan. Kegiatan para Ulama Hadis tetap berlangsung sebagaimana periode-periode
sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah
sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadis yang
dihimpun pada periode ini diantaranya adalah :
o Al Shahih oleh Ibn
Khuzaimah.(313 H)
o Al Anma’wa al Taqsim oleh
Ibn Hibban (354 H)
o Al Musnad oleh Abu Amanah (
316 H)
o Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.
o Al Mukhtarah oleh Muhammad
Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.
Setelah
Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya
hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan
mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.
2.
Bentuk Penyusunan Kitab Hadis pada masa
periode ini:
Para
Ulama Hadis Periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan Hadis,
yaitu :
a).
Kitab Athraf, didalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan
hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari
sanad kitab hadis yang dikutib matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya
:
1.
Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2.
Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn Muhammad al Wasithi
(401
H)
3.
Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi (571 H)
4.
Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)
b).
Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini
meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri, conntoh :
1.
Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
2.
Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
3.
Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)
c).
Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang
telah ada yaitu yang menghimpun hadis shahih Bukhari dan Muslim. Contohnya: Al
Jami’ bayn al Shahihaini oleh Ibnu Al Furat. Al Jami’ bayn al Shahihaini oleh
Muhammad bin Nashir al Humaidi (488 H),Al Jami’ bayan al Shahihaini oleh Al
Baqhawi (516 H)
Hadist Abad Ke 5 sampai Sekarang
v Periode
Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab Hadis
Usaha
ulama ahli hadis pada abad ke 5 sampai sekarang adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan Hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya
atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadis. Disamping itu mereka
pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh
ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi
(448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
o Sunan al-Kubra, Karya abu
Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
o Muntaqa al-Akhbar, karya
Majduddin al-Harrany (652 H.)
o Fathu al-Bari Fi Syarhi
al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
o Nailu al-Awthar, Syarah
kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250
H.)
Hadis
pada masa abad ke 5 H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan modifikasi
kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih simple
dan sistematis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad
SAW melarang menulis hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan
Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad
SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Walaupun
beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis, namun hadis masih belum
dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadis
setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang jauh bahkan banyak di antara
ulama para penghafal Hadis yang wafat.
Menurut
pendapat yang populer di kalangan ulama hadis, yang pertama-tama menghimpun
hadis serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh
ulama-ulama di kota-kota besar lainnya.
Penulisan
dan pembukuan hadis Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama
hadis pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar
seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Gufron, Mohammad dan
Rahmawati. 2013. ULUMUL HADITS. Yogyakarta: Teras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar